Berbagi peran dengan perempuan harusnya sudah menjadi sebuah kebiasaan yang lumrah semenjak dahulu kala dan bukan masalah besar. Namun karena penduduk kita masih ragu dengan kemampuan wanita memimpin situs slot online resmi, maka jadilah negara kita tertinggal dalam hal kesetaraan gender sehingga kabinet masih didominasi oleh pria.
Semenjak Negara Kesatuan Republik Indonesia berdiri, setidaknya hanya ada sedikit sekali perempuan yang resmi berperan sepanjang tubuh pemerintahan. Bentukan struktur yang tidak adil serta kebudayaan yang masih gemar menindas perempuan membuat sektor kepemimpinan wanita masih menjadi bahan perdebatan.
Sebagai intermezzo sedikit, berdasarkan lembaga survei asal Amerika Serikat ternyata kita mendapati fakta mencengangkan seputar penanganan Covid-19. Setidaknya ada sekitaran tujuh negara yang terbukti mampu mengendalikan pandemi corona dengan cukup baik misalnya seperti New Zealand, Denmark, Jerman, Taiwan, Islandia, Norwegia, hingga Finlandia.
Lalu apa hubungannya informasi tersebut dengan topik artikel kali ini? Jawabannya yaitu, semua pemimpin negara tersebut adalah seorang wanita. Semua negara yang disebutkan barusan rupanya mampu menekan angka kematian akibat penyakit Covid-19 hingga ke titik terendahnya sekitar 10 banding 1000 kasus.
Berkat narasi tersebut, publik mulai tertarik dan dan ingin tahu penyebab dari keberhasilan para pemimpin wanita ini dalam memberantas covid-19. Mengapa pemimpin perempuan menangani covid jauh lebih baik dan sukses daripada mayoritas lelaki pada umumnya? Apa sebenarnya yang menyebabkan terdapat jurang perbedaan dengan cukup signifikan?
Berbagi Peran Dengan Perempuan Mulai Jadi Bahan Pertimbangan Dunia
Setelah lengsernya Soeharto, maka peristiwa tersebut menandakan berakhir pula rezim pemerintahan Orde Baru dan berganti dengan Era Reformasi. Berbagi peran dengan perempuan semenjak itu menjadi sesuatu yang mulai didorong maupun digenjot agar lebih terjadi keragaman dalam pengisi kursi parlementer maupun kabinet kepresidenan.
Namun apa hendak dikata, sejarah dan penelitian mengungkapkan hal sebaliknya, yaitu peran kaum hawa dalam sebuah pemerintahan nampaknya masih termasuk rendah. Meskipun menunjukkan peningkatan setiap tahunnya, namun angka yang ditampilkan masih sangat timpang daripada kehadiran pria dalam suatu pemerintahan baik lokal maupun manca negara.
Kita sudah sering mendengar debat panas tentang pembahasan demokrasi di mana berulang kali terjadi sejumlah revisi penting di dalamnya. Pemerintah pun telah menjalankan program penjaminan hak politik seluruh warga negara Indonesia tanpa memandang latar belakang seperti suku, ras, agama, dan antar golongan, termasuk pula gender.
Sayang sekali, nampaknya sejumlah perumusan yang berbelit – belit dan banyak basa – basi tersebut masih belum kuat dan terkesan formalitas belaka. Hingga detik ini, perempuan nampaknya masih tertatih dan harus susah payah berjuang meniti karier politiknya mengisi bangku pejabat.
Sekali dalam sepanjang sejarah berdirinya Republik Indonesia, kita pernah merasakan kepemimpinan seorang perempuan yaitu ibu Megawati. Beliau adalah anak kandung perempuan dari presiden pertama Republik Indonesia, Insinyur Sukarno, di mana saat itu beliau naik tanpa melalui jalur pemilihan umum seperti presiden lainnya.
Naik Menjabat Presiden Tanpa Proses Pemilu
Keadaan tersebut bisa terjadi oleh karena pada masa itu sejumlah anggota dari Majelis Permusyawaratan Rakyat tidak puas dengan kinerja presiden Gus Dur. Maka dari itu, beliau resmi dilengserkan dengan paksa sehingga wakilnya saat itu yaitu ibu Megawati dengan otomatis naik tahta menggantikan beliau memimpin Indonesia.
Itulah prestasi mencengangkan sekaligus miris perihal berbagi peran dengan perempuan di mana ia hanya bisa puas dengan posisi cadangan. Dengan kata lain, wanita selalu menjadi opsi terakhir apabila keadaan belum mendesak dan masih dalam kontrol, maka kecil kemungkinan ia akan mendapatkan posisi penting di pemerintahan.
Kejadian itu merupakan sebuah momen super langka sekali seumur hidup, karena semenjak era Megawati belum ada lagi kandidat perempuan yang muncul. Seluruh calon presiden yang diangkat oleh segitu banyaknya partai politik pastilah selalu terdiri dari sepasang pria berpeci, tanpa pernah sekalipun menghadirkan sosok wanita berkebaya pada kertas pemilu.
Sejumlah pengamat politik pun berpendapat bahwasanya ongkos untuk membangun karier politik di Indonesia terbilang masih cukup mahal. Semua hasil yang diraih seorang figur pejabat pastilah merupakan buah dari pengorbanan modal berupa materi yang tidak sedikit karena penguasa elit politik masih mengontrol dari balik layar.
Lagipula Indonesia masih kental dengan kesenjangan antara pihak mayoritas dan minoritas khususnya dalam kepemelukan kepercayaan tertentu. Dalam Islam, haram hukumnya apabila suatu kelompok dipimpin oleh wanita karena nampak seperti ingin melanggar kodrat yang diberikan Allah SWT kepada bani Adam.
Recent Comments