Kisah teladan CEO wanita pertama yang menginjakan kaki di puncak kepimpinan dari seluruh dunia sangatlah menginspirasi banyak orang. Katharine Graham rupanya sanggup membuktikan sepak terjangnya dalam mengukir nama di buku sejarah dunia sebagai penyandang gelar CEO wanita pertama sepanjang masa.
Berkat usahanya, kini mulai bermunculan segudang wanita banyak yang terinspirasi dan ingin mengikuti jejak kesuksesan Katharine di bidang profesional. Sebagian lagi bahkan tergerak ataupun termotivasi untuk melewati pencapaian Katharine untuk bersinar dalam bidang pekerjaan yang lain di luar jurnalistik.
Washington Post adalah kerajaan bisnis yang awalnya bergerak dalam lini usaha surat kabar dan dikelola secara turun temurun oleh garis keturunan keluarga. Katharine Graham telah berhasil mengantarkan Washington Post menjadi salah satu harian internasional terkemuka dan juga merupakan salah satu portal berita terbaik pada zamannya.
Berkenalan lebih jauh, nama asli wanita cantik ini adalah Katharine Meyer Graham, punya nama kecil yaitu Kay pada lingkup pertemanan akrabnya. Pada suatu masa, Kay memutuskan untuk menerima lamaran dari Philip Graham yang ketika itu sedang menjabat sebagai pemimpin tertinggi dalam perusahaan Washington Post.
Perusahaan ini pun sesungguhnya telah lunas dibeli sehingga kepemilikannya berpindah ke ayah Kay, yaitu Eugene Graham. Ketika sang ayah hendak mengundurkan diri dari manajemen pusat, beliau mewariskan tahta besarnya kepada Philip Graham yang kini telah menjadi menantunya atau suami dari Kay.
Kisah Teladan CEO Wanita Pertama Membesarkan Washington Post
Kisah teladan CEO Wanita Pertama dalam kiprahnya membesarkan Slot Online Gampang Menang Washington Post tidaklah semulus yang kalian kira. Bahkan kalau boleh jujur, ia penuh dengan tragedi serta berlumuran darah layaknya film thriller besutan sutradara terkenal asal Hollywood dan sedikit sentuhan bumbu aksi karena melibatkan senjata api.
Philip yang frustasi atas segala macam masalah yang ia hadapi akhirnya memutuskan untuk menghabisi nyawanya sendiri dengan pistol pada 1960 an. Katharine secara tidak langsung harus mengambil alih kursi kepemimpinan mendiang suaminya, meninggalkan sejumlah beban maupun tekanan mental karena prestasi pasangannya di dunia jurnalistik.
Tangan dingin Philip telah membawa Washington Post kepada puncak tertingginya, menuai banjir komentar positif dari mancanegara termasuk Amerika Serikat. Katharine yang belum berpengalaman sebesar Philip pun harus membuktikan bahwa ia mampu mempertahankan atau bahkan melebihi pencapaian suaminya dalam memelihara perusahaan surat kabar itu.
Kisahnya memiliki kemiripan dengan ibu Nicke Widyawati yang kini menjabat direktur utama Pertamina dan harus meneruskan kesuksesan pendahulunya. Katharine tidak pernah merasa iri hati maupun minder karena sang ayah menghendaki Philip dan bukan dirinya untuk mengisi jabatan CEO Washington Post.
Lebih lanjut, wanita kuat ini bahkan mengaku tidak pernah terlintas dalam benaknya bahwa suatu hari nanti akan memimpin Washington Post. Pada masa tersebut, sangat sedikit sekali sosok perempuan yang mampu sampai menduduki posisi kepemimpinan puncak seperti Katharine, apalagi dalam perusahaan koran.
Berkiprah Jatuh Bangun Memperjuangkan Kemanusiaan Melalui Washington Post
Berbeda dengan nasib srikandi zaman sekarang, Katharine punya kisah teladan CEO wanita pertama di dunia yang begitu keras. Ia sama sekali kesulitan dalam mencari role model, ditambah dengan kematian suami manakala semestinya menemani Kay dalam menjadi mentor pribadi mengurusi harian surat kabar ini.
Apa yang dialami Katharine bagaikan mengundang neraka ke dalam kehidupan nyata di bumi, tatkala ia merasakan tatapan mencibir tertuju kepadanya dari segala arah. Semua kolega maupun rekan bisnis memandangnya sebelah mata dan menggunjingkannya dengan ungkapan ‘wanita beruntung’ karena tidak sengaja menerima warisan kerajaan bisnis yang besar.
Kay mengaku bahwa ia begitu sakit hati mengetahui banyak orang mempertanyakan kualitasnya sebagai pemimpin tertinggi di sebuah perusahaan multinasional. Ia pun sempat minder dan sedih karena tertekan harus mengemban tugas besar itu seorang diri tanpa bimbingan dari siapapun di sampingnya.
Ia kemudian memutuskan untuk bangkit dan menambahkan satu rubrik baru di surat kabarnya, yaitu bertemakan kesetaraan gender. Kondisi ini seirama dengan gelombang emansipasi wanita yang sedang berkobar di negara paman sam yaitu Amerika Serikat, menjalar ke negara sekitarnya.
Kay semakin bersemangat dan yakin bahwa ia telah berada dalam jalur yang tepat, berjuang tanpa mengenal kata lelah siang dan malam. Berkat kegigihannya tersebut, Kay mulai mendapatkan pengakuan dari khalayak ramai baik itu kaum pria maupun aktivis wanita di seluruh dunia sekalipun.
Recent Comments